Rabu, 26 Agustus 2009

EMPAT JALAN untuk MENGETAHUI

EMPAT JALAN untuk MENGETAHUI
Dalam setiap zaman selalu ada yang belum diketahui manusia atau sudah diketahui tetapi dirasakan masih belum tuntas:
apa, siapa, di mana, bilamana, mengapa, bagaimana dsbnya

mengenai berbagai hal: diri sendiri, lingkungan pergaulan, lingkungan hidup, alam semesta dan penciptaNya, isinya dan sebagainya.
Selalu ada manusia yang berusaha untuk menemukan “jawaban” atas “pertanyaan” mengenai suatu hal yang dipandang penting diketahui untuk kepentingan pribadi, masyarakat tertentu atau umat manusia. Bagi mereka kekurangtahuan karena adanya kesenjangan antara
· apa yang mereka telah ketahui dan yakini sebagai kebenaran mengenai suatu hal; dan
· apa yang ingin diketahui lebih lanjut atau lebih tuntas mengenai hal yang ‘dipertanyakan’;
merupakan “masalah” yang perlu dipecahkan. Yang ditanyakan itu di luar khasanah pengetahuannya. Atau, jawaban yang ada belum memuaskan atau masih diragukan kebenarannya. Orang masih meragukan apa yang diperkirakannya sendiri atau orang lain mengenai sesuatu.
Sesuatu yang tidak atau belum diketahui itu dirasakan seseorang sebagai “masalah”. Yaitu, sebagai suatu hambatan kejiwaan yang timbul karena adanya kekosongan antara besarnya rangsangan hasyrat ingin tahu seseorang untuk mengetahui: apa, siapa, berapa, bilamana, di mana, mengapa atau bagaimana sesuatu itu lebih lanjut dengan hal-hal yang sudah diketahuinya. Keingintahuan adalah sesuatu yang naluriah dari manusia: “mahluk berakal budi”.
Hanya sedikit dari ilmu-pengetahuan tak-terbatas yang dimiliki Allah diberikan kepada umat manusia dari semua zaman, dan yang sedikit itu ternyata tidak begitu saja diketahui oleh setiap manusia. Sebagai mahluk berakal-budi, manusia selalu berpikir dan bertanya-tanya tentang sesuatu yang belum diketahuinya atau belum tuntas diketahuinya tentang realitas yang dialaminya.
Mereka tadi ialah orang yang merasa “tidak-tahu” atau “kurang tahu” yang berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi ‘keresahan’ yang ditimbulkan oleh apa yang mereka rasakan sebagai masalah yang perlu dipecahkan. Apa usaha, jalan, metode dan sebagainya yang mereka tempuh untuk menjadi “tahu”?
Menurut Peirce (dalam Kerlinger, 1973), seorang filosof Amerika Serikat, ada empat cara umum untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui metode-metode kegigihan, kewenangan, intuisi dan ilmiah.
Metode Kegigihan
Metode kegigihan (method of tenacity) atau metode ‘ngotot’ ialah cara yang ditempuh oleh seseorang dalam menerima bahwa sesuatu itu ‘benar’ karena menurut pengetahuannya selama ini hal itulah yang diyakininya sebagai yang benar.
Makin banyak kejadian yang ‘membenarkan’ pengetahuannya itu makin mengukuhkan apa yang diyakininya sebagai ‘benar’ adalah demikian adanya. Kendati mungkin selama ini tidak pernah dilakukan pengendalian untuk menyaring apa sebenarnya kenyataan yang membuktikan ‘kebenaran’ pengetahuan tadi. Yaitu, dengan menguji pengetahuan berdasarkan kenyataan baru. Sikap atau pemikiran lain di luar kebenaran yang diyakini dipandang sebagai sesuatu yang ‘tidak benar’.
Misalnya, kita mengenal banyak pengetahuan taraf lokal yang memiliki kearifan tradisional seperti tercermin dari penggunaan paket teknologi yang lebih berorientasi kepada ‘penyesuaian’ terhadap alam daripada ‘penaklukan’.
Dari pengalaman panjang yang terwariskan dari generasi ke generasi, petani Banjar dan Bugis ‘gigih’ mempertahankan pengetahuan mereka dalam berusahatani padi sawah di lahan rawa pasang surut terhadap teknologi baru yang dianjurkan pemerintah melalui projek-projek pengembangan lahan pasang-surut dalam beberapa tahap penyemaian: ‘palai’ atau ‘teradak’ à pembuatan ‘handil’ berikut mungkin ‘tabat’, penggunaan varietas lokal berumur dalam berbunga-musim, penyiapan bahan tanam ‘ampak’ à ‘lacak’ à pertanaman, penyiapan lahan tanam dengan pengolahan tanah minimum menggunakan ‘tajak’, pengelolaan biomassa mulsa dengan ‘puntal’, ‘balik’, dan ‘hambur’, tanam bibit dengan ‘tetujah’ dan panen dengan ‘ranggaman’, itulah teknologi budidaya padi sawah yang mereka kenal. Untuk diversifikasi penggunaan lahan mereka kembangkan usahatani kelapa dan buah-buahan seperti jeruk ‘keprok’ dan rambutan cangkokan yang ditanam pada ‘tukungan’, yang berangsur-angsur dikembangkan menjadi ‘tembokan’ atau ‘baluran’.
Dengan ‘gigih’ mereka mempertahankan pengetahuan tersebut yang dipandang sebagai yang ‘benar’ (meski dengan masukan rendah didapat hasil yang mantap walaupun rendah tetapi efisien serta yang memungkinkan mereka melakukan kegiatan di luar usahatani) terhadap introduksi pengetahuan baru: pembangunan kanal dengan jaringan-jaringannya, termasuk kolam pasang, penggunaan varietas-varietas baru berumur genjah, tanam dua kali setahun, penggunaan pupuk paberik, kapur pertanian, herbisida, pestisida apalagi pengolahan tanah.
Teladan lain, misalnya tetumbuhan dari spesies jarang yang masih dapat tumbuh ‘baik’ pada tanah ‘gagas’ dipercaya sebagai tumbuhan ‘sakti’ yang memiliki khasiat medis tertentu, faali atau berguna untuk menambah kemampuan seksual kaum lelaki. Organisme-organisme yang mampu hidup pada lingkungan tumbuh yang sangat ekstrim atau sub-marginal seperti pH sangat rendah atau sangat tinggi, suhu tinggi atau suhu rendah, salinitas tinggi, kekurangan atau ekses air dan sebagainya dipercaya mengandung atau menghasilkan zat-zat tertentu yang berkhasiat farmakologis untuk manusia.
Metode Kewenangan
Sumber pengetahuan yang digunakan dalam metode ini lebih selektif daripada sumber untuk metode kegigihan. Sumber pengetahuan untuk metode kewenangan (method of authority) ialah orang, lembaga dan sebagainya yang telah diterima dan diyakini umum memiliki kewibawaan atau kewenangan untuk menyatakan hal-hal yang ‘benar’. Seseorang dapat menerima dan meyakini bahwa sesuatu itu benar karena hal itu telah dinyatakan demikian oleh pihak yang dipandang mempunyai wewenang atau kewibawaan untuk menyatakan jawaban atas hal yang dipermasalahkan.
Pihak yang dipandang berwenang dan memiliki kewibawaan itu misalnya ialah kitab suci, nabi, wali atau orang suci, ulama, pakar, guru, dukun, penguasa, pejabat instansi pemerintah, pemimpin masyarakat, dosen, lembaga penelitian, buku ajar dan jurnal ilmiah.
Sumber mungkin sebelumnya mendapat pengetahuan melalui metode kegigihan, intuisi, atau ilmiah. Telah umum dalam dunia penelitian ilmiah orang menggunakan temuan, rumus, teori atau dalil sebelumnya yang dapat ditelusuri dalam buku ajar, jurnal ilmiah, makalah ilmiah dan sebagainya dalam menemukan, mengenal, menyaring dan merumuskan masalah maupun dalam membahas temuan-temuan dari hasil penelitiannya sendiri.
Pewenang ilmiah adalah orang-orang yang karena latar belakang pendidikan formal akademisnya atau pengalaman kerja ilmiah dalam suatu bidang ilmu-pengetahuan dipandang sebagai pihak yang berwenang dalam suatu bidang ilmu-pengetahuan. Pendapat-pendapat mereka sering diterima tanpa sikap kritis, tanpa ditelaah lagi dan dianggap sebagai benar adanya mengingat wewenang atau reputasinya. Kendati sebetulnya pendapat pewenang ilmiah itu tidak selalu benar. Tidak jarang terjadi pendapat mereka kemudian hari ternyata tidak benar. Tidak jarang pendapat pewenang ilmiah bukan didasarkan atas hasil penelitian mendalam, tetapi menurut logika mereka sendiri yang tentu sangat tergantung pada kebenaran premis-premis yang digunakan.
Metode Intuisi atau Metode a priori
Intuisi adalah daya atau ketajaman perasaan seseorang segera melihat, menemukan atau memahami adanya suatu ‘kebenaran’ menurut akal sehat, tanpa mengadakan penalaran dan penyelidikan lebih dalam. Dalam pendekatan intuitif orang langsung menentukan ‘pendapat’ mengenai sesuatu berdasarkan ‘ilham’ yang didapat seketika dan tak-disangka melalui proses tak-disadari yang tidak terpikirkan dan terencanakan lebih dahulu.
Seperti halnya dengan metode kegigihan dan kewenangan, metode intuisi (Cohen dan Nagel dalam Kerlinger, 1973) atau metode a priori (Peirce dalam Kerlinger, 1973) bersifat subjektif. Kelebihan metode intuisi dibandingkan dengan kedua metode dibicarakan terdahulu ialah sudah digunakannya penilaian dengan nalar atau akal sehat sebelum menyatakan atau memutuskan bahwa sesuatu itu ‘benar’. Dengan metode intuisi sesuatu dianggap benar karena secara nalar atau akal sehat tampaknya memang dirasakan jelas ‘benar’.
Landasan metode ini ialah alasan masuk akal. Sedangkan pengalaman atau pengamatan sebagai batu uji belum dilakukan. Agaknya, gagasan yang digunakan ialah bahwa dengan komunikasi terbuka, dari hati ke hati, orang dapat menemukaan ‘kebenaran’ karena hati nurani manusia cenderung mencari ‘kebenaran’.
Yang menjadi masalah pada metode ini ialah apa yang dimaksudkan dengan ‘rasanya jelas benar’, karena tiap orang dapat saja mempunyai cara pandang dan menilai yang berlainan. Dengan jalan yang sama dalam mencari pengetahuan, dua orang dapat saja menemukan pengetahuan yang berbeda atas objek yang sama, karena perbedaan dalam cara menilai yang beralasan menurut pandangan dan perasaan masing-masing. Lalu dengan demikian, siapa di antara mereka yang ‘benar’ atau jangan-jangan semuanya keliru.
Selain itu dalam mencari pembenaran atas ‘yang rasanya jelas benar’ itu orang cenderung menunjuk fakta secara selektif. Yaitu, untuk kasus yang memihak kepada hal yang dianggap ‘benar’ oleh perasaan sendiri. Misalnya, dengan menunjuk si anu, si anu, ....yang jumlahnya cukup banyak, orang sampai kepada simpulan bahwa "orang Bali berbakat seni tari, pahat atau lukis; orang Batak gemar seni suara dan terampil main catur; orang Minang berbakat dagang", tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut sebenarnya ada berapa banyak orang Bali yang tidak suka menari, tidak mahir membuat patung, atau tidak terampil melukis; berapa banyak orang Batak yang tidak pandai menyanyi atau main catur; berapa banyak orang Minang yang tidak berdagang atau kurang berhasil dalam usaha dagangnya.
Pencapaian pengetahuan dengan akal sehat dapat diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya. Penggunaan akal sehat mudah berubah menjadi pra-sangka. Dengan akal sehat orang cenderung mempersempit pengamatannya karena diwarnai pra-sangka. Orang sering cenderung melihat hubungan antara dua hal sebagai suatu hubungan sebab-akibat langsung sederhana. Padahal mungkin gejala yang teramati itu merupakan akibat dari berbagai sebab. Dengan akal sehat orang cenderung ke arah pembuatan generalisasi yang terlalu luas.
Namun perlu diingat bahwa berpikir intuitif tidak selalu berhubungan dengan atau menghasilkan pengetahuan yang bersifat sebagai pra-sangka primordial (gender, ras, dan sebagainya), tabu, takhyul, dan sebagainya. Sir Ronald Aymer Fisher, seorang tokoh legendaris pendiri ilmu statistika mutakhir, sangat terkenal dengan pemikiran intuitifnya dalam pengembangan statistika. Tidak sedikit dari intuisinya kemudian hari ternyata teruji atau dapat dibuktikan oleh pakar-pakar statistika dan matematika lainnya.
Catatan
Metode Delphi, yang melibatkan sejumlah pakar yang berwewenang dalam bidang-bidangnya yang diminta untuk menyatakan pandangan-pandangan bebasnya mengenai suatu masalah, dalam beberapa iterasi sampai kira-kira mendekati konvergensi umum, dipandang sebagai suatu metode intuisi yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Lihat misalnya Linstone, H. A.& M. Turoff (Eds). 1975. The Delphi Method; Techniques and applications. Addison-Wesley Pub. Co., Reading, Masachusetts.
Metode Ilmiah
Metode ilmiah dikenal sebagai suatu cara objektif dalam menemukan pengetahuan. Dengan metode ilmiah orang berusaha untuk memperoleh kebenaran ilmiah, yaitu pengetahuan yang kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa pun yang meragukan kebenarannya. Metode ini lebih menonjol daripada ketiga metode telah dikemukakan terdahulu, khususnya karena keobjektifannya. Sepanjang jalan dalam mengembangkan pengetahuan peneliti selalu menilai dan memperbaiki pengetahuan yang didapat; secara terus-menerus dengan menggunakan kendali atau pengujian.
Pengetahuan yang didapat dengan metode ilmiah diperoleh melalui penelitian ilmiah. Yaitu, penelitian yang dirancang khusus untuk menguji suatu teori mengenai suatu masalah yang perlu diteliti. Atau, suatu penelitian yang dirancang untuk membangun suatu teori baru mengenai suatu hal. Teori dikembangkan berdasarkan data empiris melalui penelitian yang teratur dan terkendali. Suatu teori dapat diuji dalam hal kekonsistenan internalnya. Jika penelitian ulang dilakukan menurut langkahlangkah dan prosedur serupa serta pada kondisi identik (ceteris paribus), maka akan didapat pengetahuan yang konsisten, yaitu hasil yang sama atau hampir sama dengan temuan terdahulu. Langkah-langkah penelitian yang teratur dan terkendali itu telah terpolakan dan sampai batas tertentu diakui oleh umum. Pendekatan ilmiah akan menghasilkan pengetahuan serupa bagi hampir setiap orang, karena pendekatan tersebut tidak diwarnai bias subjektif dari keyakinan dan perasaan pribadi.
Dalam satu hal berpikir ilmiah dan mengikuti akal sehat sejalan. Karena ilmu dapat juga ditemukan dari pengembangan sistematis dan terkendali terhadap akal sehat. Sedangkan akal sehat ialah suatu rangkaian dan kerangka pemikiran untuk pemenuhan keperluan praktis manusia. Tetapi, Whitehead (dalam Kerlinger, 1973) berpendapat bahwa selalu mengikuti pendapat umum buruk pengaruhnya terhadap berpikir kreatif. Apalagi jika digunakan dalam mengevaluasi pengetahuan. Mengikuti pendapat umum tidak menghasilkan pengetahuan baru selain dari yang telah menjadi pendapat umum itu.
Ilmu jelas berbeda dengan pengetahuan khalayak terutama dalam lima hal, yaitu semuanya bersumber dari sekitar penggunaan kata ‘sistematis’ dan ‘dikendali’:
1. Ilmuwan membangun struktur teoritiknya dengan sistematis, mengujinya untuk mengetahui kekonsistenan
internalnya dan memperlakukan aspek-aspeknya untuk uji empiris. Sedangkan khalayak biasanya
menggunakan “teori” dan “pemikiran” dalam pengertian lebih lepas. Bagi ilmuwan, pemikiran-pemikiran
dengan istilah-istilah yang terdefinisikan dengan baik dan ketat itu tidak harus tepat menggambarkan
kenyataan atau gejala sebenarnya yang dihadapi. Pemikiran tersebut dapat dikatakan sebagai keluar dulu
dari dunia nyata, karena pada hakekatnya pemikiran yang diberikan ilmuwan atas suatu masalah merupakan
suatu ‘abstraksi’.
2. Ilmuwan menguji teori atau hipotesisnya dengan sistematis berdasarkan data empiris. Di sini ilmuwan kembali ke dunia nyata. Masyarakat umum juga mempunyai “hipotesis”, tetapi mereka biasanya menguji dalam bentuk selektif untuk menjaga kekonsistenan hipotesisnya.
3. Perbedaan ketiga terletak pada adanya pengendalian. Dalam penelitian ilmiah, ilmuwan berusaha merumuskan dengan cermat peubah apa yang berpengaruh dan peubah apa yang dipengaruhinya. Dengan perkataan lain, apa yang menjadi “sebab” sehingga suatu “akibat” terjadi, dan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi. Suatu “korelasi” tidak selalu dapat diartikan sebagai suatu “kausasi”, yaitu misalnya karena hadirnya pengaruh peubah-peubah pembaur atau penggubah. Tidak jarang orang tidak dapat mengukur pengaruh peubah sebab meskipun dapat dikenali dan sebagai penggantinya digunakan peubah-peubah indikatornya. Tetapi, peubah indikator tentu saja hanya sebagai indikator, yang tidak selalu tepat mencerminkan pengaruh peubah sebab yang dimaksud. Beberapa peubah indikator mungkin merupakan “peubah-peubah proksi”. Penjelasan yang dikemukakan oleh umum atas suatu gejala yang teramati jarang diberikan secara bersistem. Mereka biasanya kurang memberikan perhatian terhadap pengendalian pengaruh sumber-sumber tambahan di luar peubah-peubah penelitian. Mereka cenderung menerima penjelasan yang bersesuaian saja dengan pemikirannya semula dan bertindak bias dengan mengabaikan halhal yang bertentangan dengan pemikirannya.
4. Untuk hal berikut ini perbedaan sikap ilmuwan dan umum tidak begitu tajam. Ilmuwan dengan sadar dan teratur asyik berpikir dalam melacak dan menelusuri hubungan-hubungan antar gejala-gejala. Orang awam menggunakan pendapat umum dalam menjelaskan suatu gejala. Tetapi, buah pikirannya tentang hubungan-hubungan longgar, tidak bersistem, tidak dikendali dan sering menerima dengan segera kejadian yang gejala-gejalanya belum jelas tertelaah sebagai suatu hubungan sebab-akibat.
5. Dalam metode ilmiah alasan metafisik tidak dipertimbangkan dalam menjelaskan hubungan-hubungan antar gejala yang diamati. Karena penjelasan demikian tidak dapat diuji, kendati sebagai individu seorang ilmuwan mungkin saja mempercayai juga beberapa hal yang gaib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar